Warga Kampung WR

Sabtu, 02 Juli 2011

Cerpen Award Juni: TURUN RANJANG


Cerpen Hylla Shane Gerhana

            PUCUK-PUCUK SUKUN yang merindang di samping rumah menggapai rembulan lalu menggantungnya di kamarku. Hujan semalam telah merenjiskan semerbak harum melati dari luar jendela. Kerukunan malam yang kulihat di langit begitu sempurna. Begitu Agung karya cipta-Mu ya, Rob…Langkahku terasa lemah, semakin dalam lagi aku dicengkram fatamorgana. Tebing tanah basah di pinggir jalan setapak di ujung sana, seperti garis wajahmu yang selalu sejuk meneduhkan. Namun kasih sucimu seolah bermukim di hayalanku saja. Sementara kabut putih melintasi jalanku, tercipta sekat dalam hati kita. Walau kita sangat dekat dalam jarak tapi terasa sangat, ribuan mil jauhnya secara psikologis.
          Sinar rembulan yang temaram memperlelap Tahnia dalam pelukan Salima. Gadis mungil itu begitu lucu. Wajahnya begitu pasrah dibelai malam yang merangkak perlahan. Wajah Salima mirip sekali dengan si bungsu Tahnia. Aku tersenyum menatap foto istriku. Senyum yang pahit.

            Unggang[i] Salima sangat dihormati di kampong[ii]. Postur tubuhnya yang besar dan tetap sehat di usia yang telah lanjut serta sorot matanya yang tajam semakin mempertegas kewibawaannya. Ia tetua adat yang kata-katanya bagai mantra. Seluruh petuahnya menjadi hukum tak tertulis yang harus ditaati oleh orang sekampung. Tak seorang pun yang berani menentang kata-kata Unggang Salima. Dan itu wajar, sebab apa yang dikatakan Unggang Salima seluruhnya berisi kebaikan dan ajakan untuk membangun kehidupan. Unggang Salima selalu mengajarkan dan mengajak orang sekampung menendang kejahatan dan merangkul kebaikan.
            Unggang Salima dan Umeh[iii]ku masih dingbehading[iv], sehingga keluargaku pun ikut mendapat tuahnya. Lalu kedua keluarga yang mulai saling menjauh ini ingin disatukan agar lebih dekat lagi lewat perkawinan. Pemersatu kedua keluarga besar ini ternyata aku yang dijodohkan dengan Salima. Ya, aku ternyata telah dijodohkan dengan Salima. Perjodohanku dengan Salima sudah dirancang jauh sebelum Salima lahir.
             Perempuan yang selalu mengayak kata di lidahnya itu kini sudah dewasa. Dia sudah pantas untuk dinikahkan. Sejauh ini belum ada lelaki yang akrab dengannya. Kalaupun ada, sebagian mundur teratur karena segan dengan tatapan Unggang yang tajam menusuk. Ya, Unggang begitu memproyeksi Salima dengan ketat. Bukan tanpa alasan. Salima sudah dijodohkan denganku jauh sebelum ia turun ke dunia. Dan kini  kekerabatan yang mulai menjauh ini harus dirapatkan melalui kami berdua.
             Siapa yang tidak mau segera kawin dengan perempuan sejelita Salima? Lagi pula siapa yang bisa menolak dijodohkan dengan perempuan berwajah purnama itu? Sedangkan aku? siapa pula yang mau berjodoh dengan laki-laki kurus pendek yang banyak memelihara lubang jerawat di wajahnya ini.
            Salima tidak pernah mengatakan tidak dengan perjodohan itu. Seperti biasanya, dia hanya diam. Diamnya sudah cukup untuk meyakinkan keluarga bahwa Salima tidak ada masalah dengan perjodohan itu. Dua keluarga kemudian memadu rasan[v]. Persiapan perjodohan pun dilaksanakan. Beberapa perlengkapan dan syarat adat pertunangan telah disiapkan.
            Hari berlari cepat. Detik merangkum menit menuju jam yang berkelindan mengejar hari. Hari demi hari berlalu dengan kesibukan perjodohan yang telah diperhitungkan secara matang. Ketika persiapan sudah rampung, terjadilah peristiwa yang tidak diharapkan. Salima meninggalkan rumah. Ia pergi diam-diam tanpa seorang pun tahu arah dan tujuannya.
             Gadis yang mulutnya selalu terkunci rapat itu menghilang. keluarga mencari, tapi tak berhasil menghidu[vi] jejak Salima. Seluruh keluarga yang mungkin menjadi tempat pelarian Salima telah pula didatangi. Salima tak ada. Polisi yang dimintai bantuan untuk turut mencari juga tak menemukan Salima. Jangankan posisi Salima, jejaknya pun tak terlacak. Luar biasa. Entah kemana Salima pergi. Menghilang. Moksa. Seakan raganya ditelan bumi. Lenyap tak berjejak. Lampus.
            Orang tua Salima bingung bercampur marah. Perjodohan tidak mungkin diundur apalagi dibatalkan. Mereka merasa dipermainkan anak sendiri. Keluargaku dan keluarga Salima mulai kehilangan akal menjaga muka dan muruah[vii] keluarga. Pada saat genting itu, Denali adik Salima menawarkan diri untuk menjadi pengganti.
          “Bak, Kak Salima belum juga ada kabarnya sementara hari pernikahan itu
semakin dekat, aku tak ingin keluarga kita menanggung aib serta malu.”
           “Lantas mau gimana lagi Denali, kakakmu sudah dicari hampir ke seluruh
Penjuru kampong terdekat hingga Palembang tapi belum berhasil juga ditemukan,
hanya karena masalah ini, persaudaraan yang telah kita bina selama bertahun-tahun
ini akan hancur,” ujar Bak, sambil meruncingkan kening. Gurat di dahinya semakin
jelas bertambah menandakan dia sedang berfikir keras mencari solusi dari
permasalahan pelik yang mengguncang ketenangan keluarganya.
            “Bak bagaimana kalau aku yang menggantikan Kak Salima bila hingga hari H
nanti,  Kakak belum juga pulang?” tanya Denali.
Sungguh suatu jawaban tak terduga, muncul begitu saja dari mulut putrinya yang
selalu manis dan menyejukan hati. Denali dari kecil selalu ceria, tidak pernah menuntut,
begitu penurut dan berperangai selalu welas asih.
             “Bak, jangan pikirkan diriku, keputusan ini kubuat bukan tanpa pertimbangan
Saya  merasa kasihan dengan Tahnia yang masih sangat butuh-butuhnya kasih sayang
 seorang Ibu.”
          “Apakah kamu sudah pikir masak-masak sebelum mengambil keputusan,
Denali?”
         “Sudah Bak, seiring berjalannya waktu aku bisa belajar untuk mencintai Abang,
dan menerima dia apa adanya.”
          “Baiklah kalau itu keputusanmu, Anakku, saya akan segera kabarkan pada
keluarga yang lain.”
           Pernikahan pun dilangsungkan. Seminggu setelah pernikahan itu, Salima kembali. Salima tak menyebut kemana dia pergi. Lagi pula percuma saja mencungkil keterangan pada perempuan yang mulutnya dipenuhi batu itu. Akan sia-sia saja.
           Dari perkawinan itu, lahir Asmawi dan Fauzi, penyemarak rumah, penyejuk mataku saat lelah sepulang kerja. Pada kelahiran anak ketiga, Denali mengalami pendarahan serius. Kejadian itu membuat Denali mempercepat pertemuannya dengan maut. Denali pergi meninggalkan anak ketiga kami yang tali pusatnya pun belum lepas. Kepergian Denali membuatku limbung. Aku laksana perahu kecil yang terombang-ambing di tengah lautan.
            Siapa yang akan mengurus ketiga anakku? Mereka kemudian kutitipkan pada orangtua Denali karena aku bekerja dari pagi hingga sore dalam seminggu. Ketiganya diurus Salima, perempuan yang tetap menggadis meski umur kian petang.
            Setahun berlalu. Fauzi telah disekolahkan di kampong. Selama itu pula setiap seminggu sekali aku menjenguk ketiga anakku. Setiap sabtu sore aku berangkat ke kampong yang jaraknya empat jam perjalanan mobil, bermalam, dan baru pulang esoknya. Ah, harusnya aku beristri lagi agar ketiga anakku merasakan keluarga yang utuh. Tapi..., jangan-jangan pengganti Denali hanya mau denganku tetapi tidak dengan ketiga anakku.
***
         
            Malam belum begitu larut.
            Awan telah lama berarak pulang menjumpai rembulan yang selalu datang kemalaman. Dengan kelembutannya, awan menyaputi rembulan agar tak tampak telanjang. Siuran angin pada pucuk-pucuk sukun di samping rumah menciptakan melodi malam yang syahdu. Menciptakan langgam malam yang tenang di bawah percik sinar temaram sang dewi malam. Saat malam berjalan pelan, lamat kudengar percakapan kedua orang tua Salima di ruang kelurga. Mataku sudah sangat lelah sehingga tak mampu menyimak percakapan itu. Akan tetapi, suara perempuan yang selalu menampi kata di ujung lidahnya itu membuat mataku menjadi terang.
            "Aku rela turun ranjang[viii], Bak[ix]. Aku terlanjur mencintai Tahnia, Asmawi,
dan Fauzi. Kecintaanku pada mereka melebihi ibu kandungnya sendiri. Nikahkan aku
dengan ayah ketiga anak itu, Bak." “Kau ini aneh Salima, dulu Bak ingin nikahkan
kamu baik-baik sama Ayahnya Tahnia, tapi kamu malah menghilang entah kemana.
           Sekarang tiba-tiba pulang bilang kalau kau rela di nikahkan sama Abang sekaligus
 suami adikmu.”
        “Bak, Salima memang berdosa besar telah menyakiti dan mencoreng keluarga
kita. Tapi Salima sungguh sangat mengasihi ketiga keponakanku itu, ingin sekali
menganggap mereka seperti darah dagingku sendiri. Salima tidak ingin terjadi hal-hal
yang buruk sama mereka, Bak. Bila Abang menikah dengan wanita lain, belum tentu
bisa menerima Tahnia, Asmawi dan Fauzi seperti anak kandungnya sendiri. Salima
gak ikhlas terpisah selamanya dari mereka.”
          “Baiklah Salima, saya nanti akan bicarakan sama Umak dan Abangmu.
Abangmu masih sangat terpukul dengan kepergian Denali, tapi kalau niat tulusmu
bisa mengangkat derajat keluarga ini, sekaligus demi kebaikan cucuku, Bak setuju.
 Selebihnya kita serahkan segala ikhtiar dan doa kita kepada Allah SWT.”

           Aku tersenyum, mengusir kenangan silam itu. Salima memang jodohku. Tuhan telah menyediakannya untukku. Separuh bulan yang tergantung di kamar menempiasi tubuhnya. Aku kembali melirik Salima yang pulas memeluk Tahnia. Di awang-awang rembulan berseri, sinarnya menari meningkahi nyanyian kodok yang bersahut-sahutan memanggil hujan. ***

Hongkong,  Maret 2011

[i]  kakek
[ii]  kampung
[iii]  nenek
[iv]  bersaudara
[v]  perundingan
[vi]  Mencium, mengendus
[vii]  Harga diri, martabat
[viii]  Suami yang menikahi adik atau kakak kandung istrinya setelah istrinya meninggal dunia.
[ix] Bapak, ayah

Tidak ada komentar: